Kontroversi terbitnya buku Perjalanan prajurit Para Komando (2)
Buku “Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” ditulis oleh Hendro Subroto. Ia seorang mantan wartawan TVRI yang pada era 1960-1970an aktif meliputi operasi yang dilangsungkan oleh Angkatan Darat. Dalam pengantarnya, Pak Hendro telah menyatakan bahwa buku tersebut bukanlah buku Biografi atau Otobiografi dari Pak Sintong Panjaitan. Tetapi buku tentang berbagai peristiwa nasional yang terkait dengan karir Pak Sintong Panjaitan dan dilihat dari perspektif Pak Sintong Panjaitan. Oleh karena itu, sumber tulisan dalam buku tersebut sekurang-kurangnya meliputi 4 sumber, yaitu:
1. Cerita mengenai suatu peristiwa yang dialami dan disaksikan langsung oleh Pak Sintong Panjaitan,
2. Cerita mengenai suatu peristiwa yang dituturkan oleh orang lain kepada Pak Sintong Panjaitan dan diceritakan kembali oleh Pak Sintong Panjaitan kepada Pak Hendro,
3. Pengalaman atau kesaksian langsung Pak Hendro,
4. Hasil riset Pak Hendro, baik melalui wawancara dengan narasumber atau melalui studi literatur.
Terkait dengan isu “counter kudeta 1983” tampak jelas bahwa cerita tersebut tidak disaksikan langsung oleh Pak Sintong Panjaitan. Orang yang menyaksikan langsung adalah Pak Luhut Panjaitan. Kalau dikaitkan dengan teori pembuktian dalam bidang ilmu hukum, maka jenis dari kesaksian Pak Sintong Panjaitan disebut sebagai “hearsay evidence” yang tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, sedangkan keterangan Pak Luhut Panjaitan dapat diterima sebagai alat bukti Keterangan Saksi. Oleh karena itu, sangatlah jelas bahwa sesungguhnya orang yang paling kompeten untuk menjelaskan mengenai peristiwa tersebut adalah Pak Luhut Panjaitan, sebagai saksi mata. Menarik pula untuk dicatat bahwa pada bagian pengantar, penulis buku tersebut menyampaikan terimakasih atas dukungan Pak Luhut Panjaitan terhadap penerbitan buku tersebut; yang mana saya menduga bahwa melalui itu secara implisit sepertinya penulis ingin menyampaikan kepada para pembaca bahwa ia telah mengkonfirmasi dan meminta persetujuan atas cerita-cerita dalam buku itu kepada Pak Luhut Panjaitan. Bahwa terdapat penyebutan tahun yang berbeda, yaitu 1983 dan 1993, menurut saya itu semata kesalahan teknis pengetikan saja, karena kesalahan pengetikan memang sangat banyak ditemukan dalam buku ini. Menurut saya tahun yang dimaksud adalah 1983, karena penyebutan tahun tersebut lebih konsisten dan kuantitasnya lebih banyak (ada di bagian pengantar penulis, judul sub-bab, dan isi sub-bab).
Terkait dengan isu “kerusuhan Mei 1998” ada sedikitnya dua peristiwa dimana Pak Sintong Panjaitan menjadi saksi mata, yaitu saat menerima Pak Kivlan Zen dan Pak Muchdi PR yang menyampaikan surat dari Almarhum A.H Nasution untuk Presiden Habibie dan saat menyaksikan Pak Prabowo Subianto menyimpan senjatanya sebelum bertemu dengan Presiden Habibie. Surat dari Almarhum A.H Nasution berisi permintaan yang salah satunya meminta Presiden Habibie mengangkat Pak Prabowo Subianto sebagai KASAD. Menarik untuk dicatat, Pak Sintong Panjaitan justru berpendapat bahwa jika Presiden Habibie melaksanakan usulan itu, maka mungkin itu akan lebih baik, karena ia meyakini bahwa pengangkatan itu akan membuat Pak Prabowo Subianto loyal pada Presiden Habibie. Kenyataannya, Presiden Habibie malah memutuskan mencopot Pak Prabowo Subianto dari jabatan Pangkostrad. Keputusan itulah yang mendorong Pak Prabowo Subianto mendatangi Istana untuk menemui Presiden Habibie. Cerita dalam buku tersebut yang menyebutkan bahwa Pak Prabowo Subianto dikawal oleh pasukannya ke Istana, bersenjata, dan mempunyai agenda untuk mempertanyakan pencopotannya kepada Presiden Habibie ternyata dibenarkan oleh Pak Kivlan Zen dalam wawancara dengan stasiun TV-ONE kemarin (15 Maret 2009). Dalam wawancara tersebut Kivlan Zen juga menyebutkan bahwa kedatangan Pak Prabowo Subianto adalah untuk meminta Presiden Habibie menunda pencopotannya sampai 3 bulan ke depan. Tindakan Pak Prabowo Subianto yang menurut Pak Sintong Panjaitan merupakan satu bentuk “menawar perintah” itulah yang membuat respeknya agak berkurang pada Pak Prabowo Subianto, karena bagi Pak Sintong Panjaitan tentara profesional hanya memiliki satu jawaban untuk setiap perintah: Siap, Laksanakan!
Berbagai uraian mengenai “kerusuhan Mei 1998” dalam buku ini sesungguhnya lebih cenderung merupakan hasil analisis Pak Sintong Panjaitan terhadap situasi dan informasi yang diterimanya. Pak Sintong Panjaitan bukanlah saksi mata yang memerintahkan, melaksanakan, atau mengawasi operasi pengamanan Jakarta. Ia juga bukan saksi mata yang mengetahui apa yang dikatakan atau diperbuat Pak Pak Wiranto sebelum memutuskan pergi ke Malang dan apa yang dibicarakan di Malang. Bahkan dalam salah satu paragraf, Pak Sintong Panjaitan mengakui bahwa Ia sesungguhnya tidak tahu secara persis bagaimana militer bekerja saat peristiwa Mei 1998 itu terjadi. Hal tersebut sesungguhnya wajar, karena sebagai pejabat tinggi Ia tidak lagi terjun dalam hal-hal teknis. Sesungguhnya, orang yang tahu persis mengenai kejadian ”kerusuhan Mei 1998” tersebut adalah para Komandan Kompi atau Komandan Peleton yang ditugaskan di Jakarta pada saat itu. Merekalah para saksi mata yang sesungguhnya. Mereka mungkin belum berani buka suara sekarang. Tetapi kita berharap suatu hari nanti, ketika mereka sudah berhenti dari kedinasan, mereka akan bersaksi kepada kita semua; sama seperti Pak Sintong Panjaitan yang baru menceritakan berbagai penugasan militernya setelah berhenti dari dinas ketentaraan. Saya rasa sekarang bukanlah saatnya berdebat mengenai peristiwa tersebut. Sekarang saatnya menunggu, sehingga para saksi mata itu mau bicara dari hati mereka untuk mengungkap kebenaran.
Perang Sintong Panjaitan
Terus terang, kalau saya punya uang banyak, kisah-kisah seputar penugasan militer yang dilaksanakan oleh Pak Sintong Panjaitan pasti saya buatkan filmnya. Kisah-kisah tersebut begitu heroik, penuh ketegangan, penuh keberanian, unik, dan luar biasa. Kisah-kisah tersebut disampaikan dengan cukup rinci (hal mana akan sangat berguna dalam penggarapan film), karena bersumber dari pengalaman pribadi mereka sebagai saksi mata. Saya tahu banyak orang yang kurang suka dengan kiprah militer dan punya pandangan yang selalu negatif terhadap tentara di Indonesia. Bagi saya dalam alam demokrasi, berpendapat seperti itu biasa-biasa saja dan boleh-boleh saja. Tentara adalah warga negara yang sama dengan warga negara lainnya; mereka bisa dikritik dan kalau mereka melakukan pelanggaran hukum, ya dihukum. Tetapi bagi saya, terlepas dari berbagai kekurangannya, kita semua seharusnya memberi penghormatan bagi para prajurit seperti Pak Sintong Panjaitan. Karena suka atau tidak suka, faktanya orang-orang seperti Pak Sintong Panjaitan-lah yang siap mati dan hidup berbulan-bulan keluar masuk hutan dalam menjaga kesatuan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Ada beberapa hal menarik seputar dunia operasi militer yang saya catat dari buku tersebut. Pertama, bahwa operasi militer dapat dilaksanakan oleh satuan reguler maupun non reguler. Jika operasi dilaksanakan oleh satuan reguler, maka pelaksana operasi akan menggunakan seragam, tanda kepangkatan, dan tanda pengenal satuannya. Tetapi jika operasi tidak dilaksanakan oleh satuan reguler, maka operasi tersebut bersifat tertutup atau rahasia; pelaksana operasi tidak akan menggunakan tanda pengenal apapun yang mengkaitkannya dengan kesatuannya. Pak Sintong hampir melaksanakan operasi dalam satuan non reguler ketika Ia ditugaskan untuk diterjunkan di semenanjung Malaya dalam operasi konfrontasi dengan Malaysia. Saat itu seragam yang dikenakan hanya celana dan kaos hijau-hijau dengan topi rimba bertuliskan TNKU. Jika Ia tewas disana, maka pemerintah Indonesia dan TNI tidak akan mengakuinya sebagai prajurit TNI, tetapi Ia akan dikenang sebagai anggota TNKU, gerombolan bersenjata yang berhaluan komunis. Seandainya Pak Sintong berpolitik dan tidak sepakat dengan paham komunis, maka Ia mungkin akan menolak penugasan itu. Tetapi karena perintah itu adalah perintah atasan, maka jawaban dia jelas: Siap, Laksanakan! Disini kita bisa belajar mengenai beratnya risiko seorang tentara dan betapa bergantungnya nasib seorang prajurit pada tindakan dari atasannya. Pandangan Pak Sintong mengenai politik sangat jelas, yaitu bahwa Politik Tentara adalah Politik Negara. Karena itu, ketika misi penerjunan ke Malaysia itu dibatalkan, belakangan Pak Sintong justru sangat aktif dalam melakukan pemukulan terhadap kekuatan militer pro Komunis, baik di wilayah Jawa Tengah maupun di Kalimantan terhadap TNKU yang dilakukannya bersama-sama dengan Tentara di Raja Malaysia. Semua itu dilakukannya semata-mata karena Ia mendapat PERINTAH dari atasannya. Ketika mengkisahkan pengalamannya saat terjadi tragedi Santa Cruz di Timor Timur, Pak Sintong menerima laporan bahwa di sekitar pemakaman terdapat tentara tanpa tanda pengenal kesatuan yang juga melakukan penembakan. Siapakah tentara-tentara itu? Apa perintah operasi mereka? Pak Sintong sekalipun tidak bisa menjawabnya, karena dia bukan saksi mata. Lagi-lagi, kita hanya bisa menunggu mereka bercerita.
Kedua, bahwa senioritas dalam hubungan atasan-bawahan dalam militer cenderung hanya sampai pangkat Kolonel. Pada level Bintang, senioritas itu sudah tidak berlaku lagi. Tentara yang Bintang-nya lebih banyak bisa jadi adalah junior di akademi militer dari yang Bintang-nya lebih sedikit. Karena itulah, sosok seperti Pak Subagyo HS, lulusan AMN 1970 dan anak buah Pak Sintong saat operasi pembebasan sandera Woyla, justru di kemudian hari mengemban jabatan lebih tinggi di kemiliteran dan memperoleh Bintang lebih banyak dari Pak Sintong. Demikian halnya dengan Pak Prabowo Subianto yang saat Ia lulus dari akademi militer (1974), Pak Sintong (lulusan AMN 1963) sudah menyabung nyawa di berbagai palagan, mulai dari operasi G30S/PKI, operasi penumpasan Kahar Muzakkar di Sulawesi, operasi Pepera, operasi Mandatjan di Irian, operasi penumpasan TNKU di Kalimantan, operasi ekspedisi Lembah X, dan lain sebagainya. Tetapi di penghujung karirnya, justru Pak Prabowo Subianto yang memperoleh Bintang 3 terlebih dahulu dari dirinya. Disini kita bisa belajar bahwa setiap prajurit mau tidak mau harus siap untuk suatu saat diperintah oleh mantan bawahannya dan prajurit yang profesional adalah prajurit yang senantiasa siap melaksanakan perintah atasannya. Tidaklah tepat dan tidaklah pantas bagi seorang prajurit aktif untuk menolak perintah atasannya, apalagi mengekspresikan penolakan tersebut secara terbuka di hadapan publik.
Ketiga, bahwa prajurit ”para komando” adalah prajurit tempur yang akan dinamis dan kuat jika ditempa dalam operasi tempur. Di luar operasi tempur, tugas utama prajurit ”para komando” adalah berlatih, berlatih, dan berlatih. Persenjataan yang terbatas bukanlah alasan untuk malas berlatih. Justru dengan keterbatasan itu, porsi latihan personal harus lebih ditingkatkan. Intinya, prajurit ”para komando” haruslah punya ambisi, punya idealisme, dan punya mental untuk senantiasa menjadi prajurit yang terbaik. Berbagai operasi tempur yang telah dilaksanakan oleh Pak Sintong Panjaitan sesungguhnya adalah perang antar sesama saudara. Tetapi hal tersebut terpaksa dilakukan, karena mereka memberontak untuk mendirikan negara sendiri. Kita boleh saja kecewa, marah, dan benci kepada pemerintah. Tetapi pemberontakan, apapun alasannya, adalah salah. Titik krusial dalam penanganan suatu pemberontakan adalah kebijakan pimpinan tentara. Disinilah kualitas kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual seorang komandan mempengaruhi pilihan operasinya. Oleh karena itu, sungguh menarik mengetahui bahwa ketika bertugas di Irian, kesuksesan TNI dalam mengawal Pepera dan operasi Mandatjan, ternyata diperoleh dari gabungan antara operasi militer dan non militer. Hal terpenting lainnya dalam suatu operasi tempur adalah aspek legalitasnya. Tanpa dasar hukum yang jelas, maka suatu operasi tempur adalah tindakan penyalahgunaan wewenang dan bahkan dapat dikualifikasi sebagai kejahatan HAM berat.
Perang Charlie Wilson dan Peran Tentara Kita di Masa Depan
Saat menyimak paparan mengenai peristiwa Maret 1983 dalam buku tersebut, ada satu cerita yang mengingatkan saya pada film Charlie Wilson’s War yang saya VCD nya saya tonton sekitar 2 minggu lalu. Film ini diproduksi tahun 2007, dibintangi oleh Tom Hanks, dan diangkat dari kisah nyata.
Charlie Wilson adalah seorang anggota DPR di Amerika Serikat dari Dapil Texas. Ia adalah anggota DPR yang biasa-biasa saja. Bahkan Ia memiliki kebiasaan buruk berupa suka mabok dan main pelacur. Peran penting Charlie dalam sejarah Amerika Serikat terjadi saat Ia mendorong Kongres untuk menggunakan Hak Budgetnya untuk membiayai operasi rahasia di Afghanistan. Charlie Wilson berhasil membuat anggaran operasi di Afghanistan naik dari 5 Juta Dollar per tahun menjadi lebih dari 500 Juta Dollar.
Jika Charlie Wilson, si anggota DPR itu, mau korupsi. Tentunya ia sudah kaya raya. Tetapi ternyata Ia malah memberikan anggaran itu kepada kawannya di CIA yang menggunakan dana itu untuk membeli dan menyelundupkan senjata ke Afghanistan, dan melatih para mujahidin untuk menggunakannya. Menariknya, senjata-senjata itu tidak dibeli dari industri domestik di Amerika Serikat, karena sebagai operasi rahasia, keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Afghanistan-Uni Sovyet itu tidak boleh diketahui secara terang benderang. Oleh karena itu, senjata dibeli dari berbagai negara sekutu Amerika Serikat seperti: Israel dan Mesir. Sejak pejuang mujahidin menerima supply senjata-senjata baru tersebut, mesin-mesin perang Sovyet satu demi satu berhasil mereka hancurkan. Hal itu pada akhirnya membuat Sovyet harus angkat kaki dari Afghanistan. Tim CIA yang bersama Charlie Wilson mengarsiteki perang rahasia itu meminta Charlie untuk membujuk DPR agar memberikan dana untuk operasi teritorial pasca perang. Operasi itu akan berupa pembangunan sekolah, infrastruktur, perawatan korban perang, dan operasi non tempur lainnya. Hal itu diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Afghanistan bahwa Amerika Serikat adalah kawan yang sejati. Ternyata DPR menolak usulan Charlie dan operasi teritorial pun batal. Kebijakan penolakan operasi teritorial tersebut pada akhirnya merugikan Amerika Serikat sendiri, karena Afghanistan kini tak lagi bisa mereka kendalikan.
Walaupun samar dan saya belum punya data pendukungnya, saya menduga bahwa tindakan Pak L.B Moerdani mengimpor senjata yang konon ditujukan untuk membantu perjuangan rakyat Afghanistan, sebagaimana disebutkan dalam buku Sintong Panjaitan, adalah bagian dari rencana besar tim Charlie Wilson. Hubungan pemerintah Indonesia pada era orde baru dengan pemerintah Amerika Serikat sebelum mereka melakukan embargo sangatlah baik. CIA bahkan sampai punya 3 station di Indonesia, yaitu di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Para prajurit dari Indonesia banyak yang diberi kesempatan berlatih di Amerika Serikat dan supply persenjataan TNI pun banyak disokong mereka. Saya tidak bermaksud untuk menilai benar-atau-salah nya tindakan tersebut. Lagipula pada saat ini saya baru sampai pada tahap dugaan. Artinya saya bisa benar dan juga bisa salah. Saya hanya ingin mengangkat ini untuk merangsang rasa penasaran dari para pemerhati sejarah bangsa, khususnya yang berkaitan dengan bidang kemiliteran. Suatu hari kelak, jika saya sudah punya data pendukung yang lebih lengkap, saya mungkin akan berikan opini saya mengenai hal ini.
Namun sebelum saya menutup artikel ini, ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya yang ingin saya sampaikan. Saat ini konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah matang. Ancaman separatisme bukannya tidak ada sama sekali, karena nyatanya insiden masih terjadi di Ambon dan Papua. Tetapi yang jelas, separatisme bukan ancaman terbesar lagi. Ancaman terbesar kita sekarang adalah Bencana Alam, Penjarahan Sumber Daya Alam, dan Teror. Operasi tempur tidaklah cocok untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Oleh karena itu, agar satuan ”para komando” tidak banyak yang menganggur dan tetap berkualitas, saya sepakat dengan pandangan Pak Sintong Panjaitan, bahwa satuan ”para komando” harus diperkecil posturnya dan dilipatgandakan porsi latihan dan kualitas persenjataannya. Selanjutnya, penempatan pasukan Angkatan Darat sebaiknya lebih difokuskan di daerah perbatasan, khususnya di Kalimantan bagian utara, Papua bagian timur, dan Nusa Tenggara bagian timur, serta lebih aktif diterjunkan dalam operasi-operasi penjaga perdamaian di negara lain. Selain itu seluruh satuan terutama yang di tingkat teritorial harus diberikan kurikulum dan latihan yang intensif agar dapat menangani masalah-masalah mutakhir tersebut di atas dengan lebih cepat dan lebih baik. Di Laut, pemerintah sebaiknya segera mengkongkritkan Coast Guard yang dipersenjatai dengan alutsista yang canggih untuk mencari, mengejar, dan menenggelamkan kapal-kapal asing penjarah kekayaan laut kita, serta melindungi nelayan-nelayan kita. Intinya, kita harus lebih menunjukkan kemampuan militer kita kepada pihak asing yang berniat jahat kepada kita, sedangkan terhadap bangsa sendiri militer harus bisa menunjukkan bahwa eksistensinya adalah sebagai pelindung rakyat, pembela rakyat, dan penolong rakyat.
Terkait dengan isu “counter kudeta 1983” tampak jelas bahwa cerita tersebut tidak disaksikan langsung oleh Pak Sintong Panjaitan. Orang yang menyaksikan langsung adalah Pak Luhut Panjaitan. Kalau dikaitkan dengan teori pembuktian dalam bidang ilmu hukum, maka jenis dari kesaksian Pak Sintong Panjaitan disebut sebagai “hearsay evidence” yang tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, sedangkan keterangan Pak Luhut Panjaitan dapat diterima sebagai alat bukti Keterangan Saksi. Oleh karena itu, sangatlah jelas bahwa sesungguhnya orang yang paling kompeten untuk menjelaskan mengenai peristiwa tersebut adalah Pak Luhut Panjaitan, sebagai saksi mata. Menarik pula untuk dicatat bahwa pada bagian pengantar, penulis buku tersebut menyampaikan terimakasih atas dukungan Pak Luhut Panjaitan terhadap penerbitan buku tersebut; yang mana saya menduga bahwa melalui itu secara implisit sepertinya penulis ingin menyampaikan kepada para pembaca bahwa ia telah mengkonfirmasi dan meminta persetujuan atas cerita-cerita dalam buku itu kepada Pak Luhut Panjaitan. Bahwa terdapat penyebutan tahun yang berbeda, yaitu 1983 dan 1993, menurut saya itu semata kesalahan teknis pengetikan saja, karena kesalahan pengetikan memang sangat banyak ditemukan dalam buku ini. Menurut saya tahun yang dimaksud adalah 1983, karena penyebutan tahun tersebut lebih konsisten dan kuantitasnya lebih banyak (ada di bagian pengantar penulis, judul sub-bab, dan isi sub-bab).
Terkait dengan isu “kerusuhan Mei 1998” ada sedikitnya dua peristiwa dimana Pak Sintong Panjaitan menjadi saksi mata, yaitu saat menerima Pak Kivlan Zen dan Pak Muchdi PR yang menyampaikan surat dari Almarhum A.H Nasution untuk Presiden Habibie dan saat menyaksikan Pak Prabowo Subianto menyimpan senjatanya sebelum bertemu dengan Presiden Habibie. Surat dari Almarhum A.H Nasution berisi permintaan yang salah satunya meminta Presiden Habibie mengangkat Pak Prabowo Subianto sebagai KASAD. Menarik untuk dicatat, Pak Sintong Panjaitan justru berpendapat bahwa jika Presiden Habibie melaksanakan usulan itu, maka mungkin itu akan lebih baik, karena ia meyakini bahwa pengangkatan itu akan membuat Pak Prabowo Subianto loyal pada Presiden Habibie. Kenyataannya, Presiden Habibie malah memutuskan mencopot Pak Prabowo Subianto dari jabatan Pangkostrad. Keputusan itulah yang mendorong Pak Prabowo Subianto mendatangi Istana untuk menemui Presiden Habibie. Cerita dalam buku tersebut yang menyebutkan bahwa Pak Prabowo Subianto dikawal oleh pasukannya ke Istana, bersenjata, dan mempunyai agenda untuk mempertanyakan pencopotannya kepada Presiden Habibie ternyata dibenarkan oleh Pak Kivlan Zen dalam wawancara dengan stasiun TV-ONE kemarin (15 Maret 2009). Dalam wawancara tersebut Kivlan Zen juga menyebutkan bahwa kedatangan Pak Prabowo Subianto adalah untuk meminta Presiden Habibie menunda pencopotannya sampai 3 bulan ke depan. Tindakan Pak Prabowo Subianto yang menurut Pak Sintong Panjaitan merupakan satu bentuk “menawar perintah” itulah yang membuat respeknya agak berkurang pada Pak Prabowo Subianto, karena bagi Pak Sintong Panjaitan tentara profesional hanya memiliki satu jawaban untuk setiap perintah: Siap, Laksanakan!
Berbagai uraian mengenai “kerusuhan Mei 1998” dalam buku ini sesungguhnya lebih cenderung merupakan hasil analisis Pak Sintong Panjaitan terhadap situasi dan informasi yang diterimanya. Pak Sintong Panjaitan bukanlah saksi mata yang memerintahkan, melaksanakan, atau mengawasi operasi pengamanan Jakarta. Ia juga bukan saksi mata yang mengetahui apa yang dikatakan atau diperbuat Pak Pak Wiranto sebelum memutuskan pergi ke Malang dan apa yang dibicarakan di Malang. Bahkan dalam salah satu paragraf, Pak Sintong Panjaitan mengakui bahwa Ia sesungguhnya tidak tahu secara persis bagaimana militer bekerja saat peristiwa Mei 1998 itu terjadi. Hal tersebut sesungguhnya wajar, karena sebagai pejabat tinggi Ia tidak lagi terjun dalam hal-hal teknis. Sesungguhnya, orang yang tahu persis mengenai kejadian ”kerusuhan Mei 1998” tersebut adalah para Komandan Kompi atau Komandan Peleton yang ditugaskan di Jakarta pada saat itu. Merekalah para saksi mata yang sesungguhnya. Mereka mungkin belum berani buka suara sekarang. Tetapi kita berharap suatu hari nanti, ketika mereka sudah berhenti dari kedinasan, mereka akan bersaksi kepada kita semua; sama seperti Pak Sintong Panjaitan yang baru menceritakan berbagai penugasan militernya setelah berhenti dari dinas ketentaraan. Saya rasa sekarang bukanlah saatnya berdebat mengenai peristiwa tersebut. Sekarang saatnya menunggu, sehingga para saksi mata itu mau bicara dari hati mereka untuk mengungkap kebenaran.
Perang Sintong Panjaitan
Terus terang, kalau saya punya uang banyak, kisah-kisah seputar penugasan militer yang dilaksanakan oleh Pak Sintong Panjaitan pasti saya buatkan filmnya. Kisah-kisah tersebut begitu heroik, penuh ketegangan, penuh keberanian, unik, dan luar biasa. Kisah-kisah tersebut disampaikan dengan cukup rinci (hal mana akan sangat berguna dalam penggarapan film), karena bersumber dari pengalaman pribadi mereka sebagai saksi mata. Saya tahu banyak orang yang kurang suka dengan kiprah militer dan punya pandangan yang selalu negatif terhadap tentara di Indonesia. Bagi saya dalam alam demokrasi, berpendapat seperti itu biasa-biasa saja dan boleh-boleh saja. Tentara adalah warga negara yang sama dengan warga negara lainnya; mereka bisa dikritik dan kalau mereka melakukan pelanggaran hukum, ya dihukum. Tetapi bagi saya, terlepas dari berbagai kekurangannya, kita semua seharusnya memberi penghormatan bagi para prajurit seperti Pak Sintong Panjaitan. Karena suka atau tidak suka, faktanya orang-orang seperti Pak Sintong Panjaitan-lah yang siap mati dan hidup berbulan-bulan keluar masuk hutan dalam menjaga kesatuan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Ada beberapa hal menarik seputar dunia operasi militer yang saya catat dari buku tersebut. Pertama, bahwa operasi militer dapat dilaksanakan oleh satuan reguler maupun non reguler. Jika operasi dilaksanakan oleh satuan reguler, maka pelaksana operasi akan menggunakan seragam, tanda kepangkatan, dan tanda pengenal satuannya. Tetapi jika operasi tidak dilaksanakan oleh satuan reguler, maka operasi tersebut bersifat tertutup atau rahasia; pelaksana operasi tidak akan menggunakan tanda pengenal apapun yang mengkaitkannya dengan kesatuannya. Pak Sintong hampir melaksanakan operasi dalam satuan non reguler ketika Ia ditugaskan untuk diterjunkan di semenanjung Malaya dalam operasi konfrontasi dengan Malaysia. Saat itu seragam yang dikenakan hanya celana dan kaos hijau-hijau dengan topi rimba bertuliskan TNKU. Jika Ia tewas disana, maka pemerintah Indonesia dan TNI tidak akan mengakuinya sebagai prajurit TNI, tetapi Ia akan dikenang sebagai anggota TNKU, gerombolan bersenjata yang berhaluan komunis. Seandainya Pak Sintong berpolitik dan tidak sepakat dengan paham komunis, maka Ia mungkin akan menolak penugasan itu. Tetapi karena perintah itu adalah perintah atasan, maka jawaban dia jelas: Siap, Laksanakan! Disini kita bisa belajar mengenai beratnya risiko seorang tentara dan betapa bergantungnya nasib seorang prajurit pada tindakan dari atasannya. Pandangan Pak Sintong mengenai politik sangat jelas, yaitu bahwa Politik Tentara adalah Politik Negara. Karena itu, ketika misi penerjunan ke Malaysia itu dibatalkan, belakangan Pak Sintong justru sangat aktif dalam melakukan pemukulan terhadap kekuatan militer pro Komunis, baik di wilayah Jawa Tengah maupun di Kalimantan terhadap TNKU yang dilakukannya bersama-sama dengan Tentara di Raja Malaysia. Semua itu dilakukannya semata-mata karena Ia mendapat PERINTAH dari atasannya. Ketika mengkisahkan pengalamannya saat terjadi tragedi Santa Cruz di Timor Timur, Pak Sintong menerima laporan bahwa di sekitar pemakaman terdapat tentara tanpa tanda pengenal kesatuan yang juga melakukan penembakan. Siapakah tentara-tentara itu? Apa perintah operasi mereka? Pak Sintong sekalipun tidak bisa menjawabnya, karena dia bukan saksi mata. Lagi-lagi, kita hanya bisa menunggu mereka bercerita.
Kedua, bahwa senioritas dalam hubungan atasan-bawahan dalam militer cenderung hanya sampai pangkat Kolonel. Pada level Bintang, senioritas itu sudah tidak berlaku lagi. Tentara yang Bintang-nya lebih banyak bisa jadi adalah junior di akademi militer dari yang Bintang-nya lebih sedikit. Karena itulah, sosok seperti Pak Subagyo HS, lulusan AMN 1970 dan anak buah Pak Sintong saat operasi pembebasan sandera Woyla, justru di kemudian hari mengemban jabatan lebih tinggi di kemiliteran dan memperoleh Bintang lebih banyak dari Pak Sintong. Demikian halnya dengan Pak Prabowo Subianto yang saat Ia lulus dari akademi militer (1974), Pak Sintong (lulusan AMN 1963) sudah menyabung nyawa di berbagai palagan, mulai dari operasi G30S/PKI, operasi penumpasan Kahar Muzakkar di Sulawesi, operasi Pepera, operasi Mandatjan di Irian, operasi penumpasan TNKU di Kalimantan, operasi ekspedisi Lembah X, dan lain sebagainya. Tetapi di penghujung karirnya, justru Pak Prabowo Subianto yang memperoleh Bintang 3 terlebih dahulu dari dirinya. Disini kita bisa belajar bahwa setiap prajurit mau tidak mau harus siap untuk suatu saat diperintah oleh mantan bawahannya dan prajurit yang profesional adalah prajurit yang senantiasa siap melaksanakan perintah atasannya. Tidaklah tepat dan tidaklah pantas bagi seorang prajurit aktif untuk menolak perintah atasannya, apalagi mengekspresikan penolakan tersebut secara terbuka di hadapan publik.
Ketiga, bahwa prajurit ”para komando” adalah prajurit tempur yang akan dinamis dan kuat jika ditempa dalam operasi tempur. Di luar operasi tempur, tugas utama prajurit ”para komando” adalah berlatih, berlatih, dan berlatih. Persenjataan yang terbatas bukanlah alasan untuk malas berlatih. Justru dengan keterbatasan itu, porsi latihan personal harus lebih ditingkatkan. Intinya, prajurit ”para komando” haruslah punya ambisi, punya idealisme, dan punya mental untuk senantiasa menjadi prajurit yang terbaik. Berbagai operasi tempur yang telah dilaksanakan oleh Pak Sintong Panjaitan sesungguhnya adalah perang antar sesama saudara. Tetapi hal tersebut terpaksa dilakukan, karena mereka memberontak untuk mendirikan negara sendiri. Kita boleh saja kecewa, marah, dan benci kepada pemerintah. Tetapi pemberontakan, apapun alasannya, adalah salah. Titik krusial dalam penanganan suatu pemberontakan adalah kebijakan pimpinan tentara. Disinilah kualitas kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual seorang komandan mempengaruhi pilihan operasinya. Oleh karena itu, sungguh menarik mengetahui bahwa ketika bertugas di Irian, kesuksesan TNI dalam mengawal Pepera dan operasi Mandatjan, ternyata diperoleh dari gabungan antara operasi militer dan non militer. Hal terpenting lainnya dalam suatu operasi tempur adalah aspek legalitasnya. Tanpa dasar hukum yang jelas, maka suatu operasi tempur adalah tindakan penyalahgunaan wewenang dan bahkan dapat dikualifikasi sebagai kejahatan HAM berat.
Perang Charlie Wilson dan Peran Tentara Kita di Masa Depan
Saat menyimak paparan mengenai peristiwa Maret 1983 dalam buku tersebut, ada satu cerita yang mengingatkan saya pada film Charlie Wilson’s War yang saya VCD nya saya tonton sekitar 2 minggu lalu. Film ini diproduksi tahun 2007, dibintangi oleh Tom Hanks, dan diangkat dari kisah nyata.
Charlie Wilson adalah seorang anggota DPR di Amerika Serikat dari Dapil Texas. Ia adalah anggota DPR yang biasa-biasa saja. Bahkan Ia memiliki kebiasaan buruk berupa suka mabok dan main pelacur. Peran penting Charlie dalam sejarah Amerika Serikat terjadi saat Ia mendorong Kongres untuk menggunakan Hak Budgetnya untuk membiayai operasi rahasia di Afghanistan. Charlie Wilson berhasil membuat anggaran operasi di Afghanistan naik dari 5 Juta Dollar per tahun menjadi lebih dari 500 Juta Dollar.
Jika Charlie Wilson, si anggota DPR itu, mau korupsi. Tentunya ia sudah kaya raya. Tetapi ternyata Ia malah memberikan anggaran itu kepada kawannya di CIA yang menggunakan dana itu untuk membeli dan menyelundupkan senjata ke Afghanistan, dan melatih para mujahidin untuk menggunakannya. Menariknya, senjata-senjata itu tidak dibeli dari industri domestik di Amerika Serikat, karena sebagai operasi rahasia, keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Afghanistan-Uni Sovyet itu tidak boleh diketahui secara terang benderang. Oleh karena itu, senjata dibeli dari berbagai negara sekutu Amerika Serikat seperti: Israel dan Mesir. Sejak pejuang mujahidin menerima supply senjata-senjata baru tersebut, mesin-mesin perang Sovyet satu demi satu berhasil mereka hancurkan. Hal itu pada akhirnya membuat Sovyet harus angkat kaki dari Afghanistan. Tim CIA yang bersama Charlie Wilson mengarsiteki perang rahasia itu meminta Charlie untuk membujuk DPR agar memberikan dana untuk operasi teritorial pasca perang. Operasi itu akan berupa pembangunan sekolah, infrastruktur, perawatan korban perang, dan operasi non tempur lainnya. Hal itu diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Afghanistan bahwa Amerika Serikat adalah kawan yang sejati. Ternyata DPR menolak usulan Charlie dan operasi teritorial pun batal. Kebijakan penolakan operasi teritorial tersebut pada akhirnya merugikan Amerika Serikat sendiri, karena Afghanistan kini tak lagi bisa mereka kendalikan.
Walaupun samar dan saya belum punya data pendukungnya, saya menduga bahwa tindakan Pak L.B Moerdani mengimpor senjata yang konon ditujukan untuk membantu perjuangan rakyat Afghanistan, sebagaimana disebutkan dalam buku Sintong Panjaitan, adalah bagian dari rencana besar tim Charlie Wilson. Hubungan pemerintah Indonesia pada era orde baru dengan pemerintah Amerika Serikat sebelum mereka melakukan embargo sangatlah baik. CIA bahkan sampai punya 3 station di Indonesia, yaitu di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Para prajurit dari Indonesia banyak yang diberi kesempatan berlatih di Amerika Serikat dan supply persenjataan TNI pun banyak disokong mereka. Saya tidak bermaksud untuk menilai benar-atau-salah nya tindakan tersebut. Lagipula pada saat ini saya baru sampai pada tahap dugaan. Artinya saya bisa benar dan juga bisa salah. Saya hanya ingin mengangkat ini untuk merangsang rasa penasaran dari para pemerhati sejarah bangsa, khususnya yang berkaitan dengan bidang kemiliteran. Suatu hari kelak, jika saya sudah punya data pendukung yang lebih lengkap, saya mungkin akan berikan opini saya mengenai hal ini.
Namun sebelum saya menutup artikel ini, ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya yang ingin saya sampaikan. Saat ini konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah matang. Ancaman separatisme bukannya tidak ada sama sekali, karena nyatanya insiden masih terjadi di Ambon dan Papua. Tetapi yang jelas, separatisme bukan ancaman terbesar lagi. Ancaman terbesar kita sekarang adalah Bencana Alam, Penjarahan Sumber Daya Alam, dan Teror. Operasi tempur tidaklah cocok untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Oleh karena itu, agar satuan ”para komando” tidak banyak yang menganggur dan tetap berkualitas, saya sepakat dengan pandangan Pak Sintong Panjaitan, bahwa satuan ”para komando” harus diperkecil posturnya dan dilipatgandakan porsi latihan dan kualitas persenjataannya. Selanjutnya, penempatan pasukan Angkatan Darat sebaiknya lebih difokuskan di daerah perbatasan, khususnya di Kalimantan bagian utara, Papua bagian timur, dan Nusa Tenggara bagian timur, serta lebih aktif diterjunkan dalam operasi-operasi penjaga perdamaian di negara lain. Selain itu seluruh satuan terutama yang di tingkat teritorial harus diberikan kurikulum dan latihan yang intensif agar dapat menangani masalah-masalah mutakhir tersebut di atas dengan lebih cepat dan lebih baik. Di Laut, pemerintah sebaiknya segera mengkongkritkan Coast Guard yang dipersenjatai dengan alutsista yang canggih untuk mencari, mengejar, dan menenggelamkan kapal-kapal asing penjarah kekayaan laut kita, serta melindungi nelayan-nelayan kita. Intinya, kita harus lebih menunjukkan kemampuan militer kita kepada pihak asing yang berniat jahat kepada kita, sedangkan terhadap bangsa sendiri militer harus bisa menunjukkan bahwa eksistensinya adalah sebagai pelindung rakyat, pembela rakyat, dan penolong rakyat.
Akhir kata, saya merasa kita semua harus berterima kasih kepada Pak Sintong Panjaitan yang setuju untuk membagi cerita, pikiran, dan pandangan hidupnya kepada publik. Karena diakui atau tidak, kita perlu figur tentara yang inspiratif. Tentara yang benar-benar bisa berperang dan bukan hanya berpolitik. Tentara yang berperang untuk NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA dan MENGUTAMAKAN RAKYAT DI ATAS KEPENTINGAN PRIBADINYA.
Brian Prastyo
3 Januari 2015 pukul 23.47
terima kasih sudah share :)
15 Maret 2016 pukul 21.00
TERIMA KASIH INFONYA